Kamis, 04 Februari 2016

Tujuh Syuhada Kecil

TUJUH SYUHADA KECIL

Bukit cadas itu hanya terpisah dari Kabul oleh bentangan sungai dan hutan buatan. Tadinya, penduduk  di bukit itu hhidup dengan damai. Mereka berdagang dan menggembala binantang ternak tanpa gangguan. Tiapp pagi mereka berangkat mencari nafkah melalui jalan-jalan setapat yang sulit dijangkau kecuali oleh penduduk yang sudah terbiasa dengan keterjalan jurang dan ngarai yang mengerikan itu. Namun, mereka tidak pernah mengeluh, sebab mata pencaharian mereka cukup melimpah hasilnya. Mereka dapat menikmati hidup yang layak selaku umat islam yang taat. Masjid-masjid selalu penuh jamaah. Orang-orang dewasa berlatih menunggang kuda dan menggunakan senapan locok bikinan sendiri untuk melindungi gembalaan mereka. Anak-anak belajar membaca Alquran dan memperoleh pendidikan agama yang cukup.
Namun semenjak tentara Rusia yang ateis menjarah negeri mereka, atas nama melindungi bangsa Afganistan dari rongrongan kaum imperialis dan antek-antek Amerika, kebebasan menjalankan agama sangat ternodai akibat tindakan para anggota tentara asing yang kafir itu. Kemerosotan moral merajalela, terutama di kota-kota besar. Sehingga para orang tua di kampong keberatan melepas anak-anak mereka ke Kabul atau Bandar-bandar lainnya.
Alasan inilah salah satu di antara yang menyebabkan  kaum Muslimin Afghanistan mencanangkan jihad fi sabilillah terhadap tentara Rusia dan bonekanya. Dengan perlengkapan senjata yang kelewat sederhana, mereka mengerahkan putera-puteranya yang gagah berani untuk melawan pasukan komunis dari Negara tetangganya itu, Uni Soviet.
Bertahun-tahun merkea berperang, namun belum mencapai hasil yang dicita-citakan, mengusir tentara asing dari bumi Afghanistan nan suci. Yang jelas sesudah bertahun-tahun terlibat dalam peperangan, kaum Muslimin tidak punah, dan Rusia belum sanggup nama mereka dari perjalanan sejarah. Kaum mujahidin masih dengan perkasa melakukan perlawanan, baik secara gerilya maupun secara frontal. Korban telah baanyak berjatuhan di kedua belah pihak. Keberanian orang-orang Islam diakui sangat tinggi sehingga mengakibatkan tentara Rusia dan pasukan bonekanya hanya karena terpaksa mau dikirim ke medan perang.
Gunung-gunugnpun menjadi banteng pertahanan kaum mujahidin. Dan kampong-kampung mereka sunyi senyap, lantaran para orang dewasanya tak satupun yang mau berdiam diri di rumah masing-masing, kecuali orang-orang tua, wanita-wanita  yang lemah, dan anak-anak dibawah umur.
Suatu ketika, tentara Soviet menyerbu kampong kecil di bukit terpencil itu. Mereka tidak menemukan apa-apa selain jebakan-jebakan yang berhasil menewaskan sejumlah anggota pasukan. Dengan marah, dikirimlah tank lebih banyak sehingga di bukit kecil itu bertengger Sembilan tank yang tidak mempan senjata, konon kabarnya. Ksembilan kendaraan penyebar maut itu mengeram dengan angker dan sombongnya.
Tiba-tiba muncul tujuh orang anak kecil mengenakan jubah khas Afghanistan yang longgar dan menggelembung. Mereka bermain kejar-kejaran di dekat kesembilan tank itu, kadang kadang main perang-perangan.
Tentara Rusia acuh tak acuh sambil berusaha memberikan kesan kepada penduduk yang tersisa bahwa tentara Rusia menyayangi anak-anak.
Tidak berapa lama kemudian, tatkala para tentara pasukan lapis baja itu sedang lengah terkantuk-kaantuk, di siang hari bolong yang terik, ketujuh anak kecil itu menaiki tank-tank milik pasukan Rusia tersebut. Dengan cepat mereka menyelinap memasuki mulut tujuh tank itu.
Sesaat sesudah itu, terdengar ledakan dari ketujuh kendaraan tersebut. Api berkobar menghancurkan tujuh tank di antara sembilan yang angkuh itu. Dalam puing-puingnya, kedapatan serpihan-serpihan daging ketujuh anak kecil Afghanistan tersebut. Gugurlah mereka sebagai syuhada-syuhada kecil yang mengharumkan nama bangsa dan kaumnya. (30 Kisah Teladan, K.H. Abdurrahman Ar-Roisi).


Share:

REMAJA YANG PAHLAWAN

REMAJA YANG PAHLAWAN

Sebetulnya para remaja belum perlu terjun ke medan perang. Sebab kekuatan tentara Muslim masih dapat diandalkan walaupun dalam peristiwa Perang Badar itu jumlahnya tidak seimbang dengan pasukan musyrik yang jauh berlipat ganda. Rasulullah bahkan beberapa kali menolak keterlibatan anak-anak muda dalam pertempuran.
Namun, para remaja Muslim itu tidak bisa tinggal diam. Mereka merasa terpanggil untuk ikut berjuang demi kepentingan agama dan umat Islam. “Bukankah tanggung jawab mengamankan Negara bukan hanya terbeban dipundak kaum tua semata-mata?”.
Itulah yang mengagetkan Abdurrahman bin Auf yang sedang sibuk menghadapi cecaran senjata musuh-musuhnya. Sepintas kilas ia melihat dua orang anak lelaki sedang mengendap-endap ke tengah-tengah pertempuran. Agaknya mereka takut kepergok oleh Nabi.
Tatkala Abdurrahman bin Auf sedang dilanda kecemasan memikirkan keselamatan kedua anak lelaki itu, ternyata malahan mereka bergegas mendekat ketempatnya. Dengan berbisik salah seorang di antaranya berkata “Wahai, Tuan Abdurrahman bin Auf. Manakah di antara orang-orang kafir itu yang bernama Abu Jahal?”.
“Mengapa kau tanyakan dia?” Tanya Abdurrahman bin Auf seraya menghindari dari sebilah tombak yang melayang ke arahnya.
“kami berdua telah bersumpah hendak menghadapi biang kerok kerusuhan itu. Kalau kami tidak berhasil membunuhnya, lebih baik sumur Badar menjadi kuburan kami,” jawab anak lain.
Sungguh terharu hati Abdurrahman bin Auf. Mula-mula ia bimbang, apakah layak ia menunjukkan yang mana Abu Jahal? Sanggupkah mereka menghadapi pendekar Quraisy yang ganas itu? Tidakkah hal itu akan membahayakan jiwa mereka?
Tetapi Abdurrahman bin Auf berpikir lagi. Bukankah ajal manusia Tuhanlah yang berkuasa menetapkannya? Mereka ingin membantu perjuangan kaum Muslimin. Mereka juga berhak menanam jasa. Bahkan mereka memiliki hak untuk menjadi syuhada, pahlawan yang perlaya di medan laga. Tidakkah menghalang-halangi niat suci mereka berarti merintangi janji surgabagi mereka? Oleh karena itu, akhirnya ia menuding, mana di antara musuh-musuh itu yang digelari Abu Jahal.
Sungguh, alangkah gembiranya kedua anak lelaki itu. Dengan penuh keberanian mereka manghambur menuju tempat Abu Jahal sedang mengumbar ketelengasannya. Seakan saling berlomba adu cepat, mereka berlai=ri bagaikan anak-anak panah terlepas dari busurnya.
Abu Jahal terbeliak ngeri tatkala merasakan berkesiurannya bunyi dua pedang menyerang tubuhnya. Dan ia makin terbelalak tatkala mengetahui yang menyerbunya dengan dahsyat hanyalah dua orang anak kecil yang tampaknya kurus dan lemah. Beberapa kali ia berhasil mengelak dan menangkis. Namun, kesudahannya ia tertebas pedang kedua anak kecil itu dan tewas seketika.
Manakala berita kematian Abu Jahal disampaikan kepada Rasulullah, dengan menunduk sedih Nabi bersabda, “ Abu Jahal ada Firaunnya zaman ini.” Seolah-olah suara itu bergaung ke segenap masa dan penjuru, akan muncul pula sesudahnya Abu Jahal-Abu Jahal dan Firaun-Firaun lain dalam berbagai bentuk dan penampilan. Yang jelas, sepanjang para remaja tetap memiliki semangat membaja untuk berkorban demi tanah air dan agama, Abu Jahal-Abu Jahal dan Firaun-Firaun itu tak kan mampu malang melintang berketerusan. Mereka pasti tertumpas dengan hina, sebab muncul, hancurlah kesewenangan dan kejahilan.

Siapakah kedua pejuang kecil itu? Mereka adalah anak-anak Arfa’. (30 Kisah Teladan, K.H. Abdurrahman Ar-Roisi).
Share:

Rabu, 03 Februari 2016

Pejuang Di Sarang Macan

Pejuang Di Sarang Macan



D
engan masih berdirinya Pemuda Anshor, maka kaiboodan dan Seinendan, dua organisasi keamanan dan kepemudaan Jepang, tidak diminati para pemuda Islam. Mereka berduyun-duyun mendaftarkan diri menjadi anggota Anshor. Selaku Komisaris Daerah Anshor untuk Jawa Tengah bagian Selatan, Kyai Haji Saifuddin Zuhri yang waktu itu masih muda belia, dipanggil oleh Kaisatsu Syoocho, kepala polisi Kerasidenan Banyumas. Biasanya, kalau ada panggilan dari salah satu pejabat pemerintahan Jepang, berarti alamat tidak akan pulang untuk beberapa lama, atau untuk selama-lamanya.
Maka dengan berbekal seperangkat doa dari para kyai yang dibaca sepanjang jalan, Saifuddin Zuhri berangkat ke kantor Polisi. Andaikata Gunung Slamet yang kakinya menjelajah ke Banyumas itu bergetar, barangkali getaran hati Saifuddin Zuhri lebih keras lagi. Sebab detik-detik menunggu itu ia berusaha menindih ketakutannya dengan keyakinan dan keimanan. Dan ternyata keampuhan doa dapat mengusir segala perasaan yang bisa meruntuhkan kepribadian serta harga diri seorang manusia. Saifuddin Zuhri dengan dada lapang siap menghadapi resiko perjuangan yang paling buruk sekalipun.
Terpujilah nama Allah. Kepala polisi Kerasidenan Banyumas adalah pribumi, Muslim lagi, namanya Umar Khattab. Setidaknya hatinya lebih lembut daripada orang Jepang. Mudah-mudahan.
Ketika berhadapan empat mata, sesudah Identitas Saifuddin Zuhri diteliti dan dicocokkan, Umar Khattab lalu bertanya, “Apa betul Saudara pemimpin Anshor Jawa Tengah?”
Dengan jujur Saifuddin Zuhri mengangguk. “Tepatnya, jabatan saya selaku Komisaris Daerah Anshor untuk Jawa Tengah bagian selatan, meliputi Kerasidenan Banyumas, Kedu, dan Yogyakarta.”
Muka kepala polisi itu tetap angker. Tidak ada senyum basa-basi. Akan tetapi, suaranya tidak bernada membentak ketika ia bertanya lagi, ”Sudah berapa lama jabatan itu Saudara pegang?”.
“Sejak tahun 1983.” Jawab Saifuddin Zuhri seadanya.
“Anshor itu gerakan Politik?” Umar Khattab mendesak.
“Anshor adalah gerakan yang berasas agama Islam dan bertujuan keagamaan semata-mata.”
“Apakah semangat Nippon juga ditanamkan kepada para anggotanya?” Umar Khattab kian mendesak.
“Dalam Anshor diajarkan pula taisyoo, olahraga gaya Jepang, dan memutar juga lagu-lagu Jepang,” jawab Saifuddin Zuhri berputar, lantaran dalam benaknya ia berfikir, pertanyaan yang seperti inilah yang bakal menentukannya ditangan Jepang.
“Apakah Ansor merintangi Seinendan dan Keiboondan?” sang kepala polisimulai menunjukkan kejepangannya. Maklum. Ia memang orang Indonesia, tetapi kala itu ia bertindak sebagai kepala polisi Jepang yang harus tunduk dan menaati perintah dari atasan.
Saifuddin Zuhri makin hati-hati. Ia belum bisa menduga, di pihak mana Kaisatsu Syoocho itu berdiri. Apakah betul-betul berkiblat kepada Jepang penjajah, ataukah masih terikat batinnya kepada gerakan kebangsaan? Maka secara bijak Saifuddin Zuhri menjawab, “Bagaimana mungkin Anshor merintangi Seinendan dan Keibondan, sedangkan kepada para anggotanya kami ajarkan semua yang diajarkan dalam Seinendan dan  Keibondan?”
Tiba-tiba Umar Khattab berubah sikap. Matanya bergerak-gerak gelisah, menatap kea rah pintu ruangan, untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak ada orang lain yang akan masuk, meski sebetulnya kegelisahan itu tidak perlu, sebab tadi pintu itu telah digrendelnya. Ia menyeret kursinya lebih dekat ke tempat duduk Saifuddin Zuhri. Lalu melanjutkan bicaranya dengan setengah berbisik, “Saya sebetulnya diperintah polisi militer Jepang, Kenpeitai, untuk menahan saudara Saifuddin Zuhri, berhubung masuknya laporan bahwa saudara melancarkan gerakan anti-Jepang. Saya tidak ingin Saudara dan Gerakan Anshor mendapat kesulitan. Karena itu saya anjurkan, sebaiknya buat sementara waktu, Saudara jangan berrdiam di daerah Banyumas. Saudara toh bisa memilih daerah mana saja di luar Banyumas lantaran Saudara menjabat Komisaris Amsor Jawa Tengah bagian selatan. Kelak, jika keadaan sudah memungkinkan, silakan kembali lagi ke daerah Banyumas.”
Saifuddin Zuhri menjadi lega sekali, terutama setelah mengetahui, terbukti di kandang harimau pun seorang pejuang tetap pejuang. Umar Khattab benar berseragam kepolisian Jepang, namun jiwanya tetap antipenjajahan dan berpihak kepada banggsa sendiri. Maka dengan patuh ia menjawab, “Sungguh saya berterima kasih atas nasihat Tuan itu. Dan saya amat bergembira serta sangat bahagia hati saya berkenalan dengan Tuan. Semua saran Tuan pasti akan saya laksanakan.”

Saifuddin Zuhri berdiri minta permisi. Sebelum keluar ruangan ia menjabar tangan Umar Khattab lama nian, seraya mengulangi kembali ucapan terima kasihnya dengan tulus dan terharu. (30 Kisah Teladan, K.H. Abdurrahman Ar-Roisi).
Share:

Cerita Tauladan

SEMANGAT JUANG PARA REMAJA

Sebenarnya telah berulang kali Rasulullah menolak keikutsertaan anak-anak remaja dalam peperangan. Mereka lebih digalakkan untuk menuntut ilmu sambil menjaga orangtua masing-masing, yakni para wanita dan kaum usia lanjut. Namun, tak jemu-jemunya anak-anak para pahlawan itu mencoba-coba, siapa tahu Rasulullah berkenan mengabulkan.
Dalam pada itu, kedatangan musuh telah makin dekat. Hari sudah parak siang. Mata-mata telah member kabar bahwa tidak berapa lama lagi kaum musyrikin akan tiba di Bukit Uhud.
Nabi cepat menggerakkan pasukannya. Walaupun sejumlah anggota Abdullah bin Ubay mengundurkan diri, Rasulullah berhasil menempatkan pasukan pemanah dan para pengiintai di puncak bukit. Agar dengan demikian kedatangan tentara bisa dipantau lebih awal.
Keadaan inilah yang membuat Khuday dan Jundub mengizinkan anak-anak mereka yang masih kecil untuk ikut terjun ke dalam palagan. Sebab mereka sudah sangat uzur berhubung dengan unr mereka telan lanjut. Tetapi, kedua anak yang bernama Rafi’ bin Khuday dan Samurah bin Jundub kepergok Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, keduanya disuruh pulang.
Setiba di rumah, Rafi’ ditanya oleh ayahnya.
“Mengapa engkau pulang? Sedangkan peperangan belum mulai? Apakah engkau takut menghadapi orang-orang kafir?”.
Dengan sedih Rafi’ menjawab,
            “Semua  anak kecil disuruh pulang oleh Rasulullah.”
Khuday lalu berangkat lekas-lekas menemui Rasulullah. Dengan mengiba-iba ia berkata,
“Anak saya ini cuma kecil di badannya. Tetapi semangat dan kepandaiannya memainkan senjata seimbang dengan orang-orang dewasa. Kalau tidak percaya, silakan buktikan. Dan dia mewakili saya yang telah renta,wahai Utusan Allah.”
Maka Rasulullah menyuruh anak itu memperlihatakan kelihaiannya memanah. Ternyata betul, sasaran yang dituju telah terkena anak panahnya dengan telak. Karena itu, ia diperbolehkan bergabung dengan tentara Muslimin.
Mendengar anak Khuday diterima menjadi pasukan Nabi, Jundub, ayah Samurah, buru-buru mengajak anaknya menjumpai Rasulullah. Dengan penuh semangat orangtua yang tertatih-tatih itu berkata,
“Kalau Rafi’ bin Khuday kau terima, sepatutnya anak saya juga diterima.”
“Rafi’ dapat menggunakan busur dengan bagus,” ujar Nabi.
“Tetapi dalam bergulat, anak saya lebih jago,” kilah Jundub membela anaknya.
“Boleh dibuktikan. Andaikata anak saya kalah dengan Rafi’, saya rela anak saya kau tolak menjadi anak buahmu, ya Rasulullah.”
Terpaksa Nabi memenuhi permintaan itu. Samurah diberi kesempatan bertarung adu tangan kosong di hadapan pasukan Muslimin melawan Rafi’. Setelah bergebrak beberapa jurus, terbukti memang Samurah bisa menjatuhkan Rafi’. Maka mau tidak mau Rasulullah harus menepati janjinya. Kedua-duanya dikabulkan ikut berperang menyertai orang dewasa.

Di medan perang,  kedua anak remaja itu dapat menjatuhkan lawan-lawannya dengan sigap. Mereka bahu-membahu membela Nabi yang dicintainya sepenuh jiwa. Makin jelas terpampang bukti bahwa para remaja bisa berbuat banyak untuk menanam dan menegakkan jasa bagi Negara dan Agama. (30 Kisah Teladan, K.H. Abdurrahman Ar-Roisi).
Share:

BTemplates.com

Posted by NAMRIF. Diberdayakan oleh Blogger.