Rabu, 03 Februari 2016

Pejuang Di Sarang Macan

Pejuang Di Sarang Macan



D
engan masih berdirinya Pemuda Anshor, maka kaiboodan dan Seinendan, dua organisasi keamanan dan kepemudaan Jepang, tidak diminati para pemuda Islam. Mereka berduyun-duyun mendaftarkan diri menjadi anggota Anshor. Selaku Komisaris Daerah Anshor untuk Jawa Tengah bagian Selatan, Kyai Haji Saifuddin Zuhri yang waktu itu masih muda belia, dipanggil oleh Kaisatsu Syoocho, kepala polisi Kerasidenan Banyumas. Biasanya, kalau ada panggilan dari salah satu pejabat pemerintahan Jepang, berarti alamat tidak akan pulang untuk beberapa lama, atau untuk selama-lamanya.
Maka dengan berbekal seperangkat doa dari para kyai yang dibaca sepanjang jalan, Saifuddin Zuhri berangkat ke kantor Polisi. Andaikata Gunung Slamet yang kakinya menjelajah ke Banyumas itu bergetar, barangkali getaran hati Saifuddin Zuhri lebih keras lagi. Sebab detik-detik menunggu itu ia berusaha menindih ketakutannya dengan keyakinan dan keimanan. Dan ternyata keampuhan doa dapat mengusir segala perasaan yang bisa meruntuhkan kepribadian serta harga diri seorang manusia. Saifuddin Zuhri dengan dada lapang siap menghadapi resiko perjuangan yang paling buruk sekalipun.
Terpujilah nama Allah. Kepala polisi Kerasidenan Banyumas adalah pribumi, Muslim lagi, namanya Umar Khattab. Setidaknya hatinya lebih lembut daripada orang Jepang. Mudah-mudahan.
Ketika berhadapan empat mata, sesudah Identitas Saifuddin Zuhri diteliti dan dicocokkan, Umar Khattab lalu bertanya, “Apa betul Saudara pemimpin Anshor Jawa Tengah?”
Dengan jujur Saifuddin Zuhri mengangguk. “Tepatnya, jabatan saya selaku Komisaris Daerah Anshor untuk Jawa Tengah bagian selatan, meliputi Kerasidenan Banyumas, Kedu, dan Yogyakarta.”
Muka kepala polisi itu tetap angker. Tidak ada senyum basa-basi. Akan tetapi, suaranya tidak bernada membentak ketika ia bertanya lagi, ”Sudah berapa lama jabatan itu Saudara pegang?”.
“Sejak tahun 1983.” Jawab Saifuddin Zuhri seadanya.
“Anshor itu gerakan Politik?” Umar Khattab mendesak.
“Anshor adalah gerakan yang berasas agama Islam dan bertujuan keagamaan semata-mata.”
“Apakah semangat Nippon juga ditanamkan kepada para anggotanya?” Umar Khattab kian mendesak.
“Dalam Anshor diajarkan pula taisyoo, olahraga gaya Jepang, dan memutar juga lagu-lagu Jepang,” jawab Saifuddin Zuhri berputar, lantaran dalam benaknya ia berfikir, pertanyaan yang seperti inilah yang bakal menentukannya ditangan Jepang.
“Apakah Ansor merintangi Seinendan dan Keiboondan?” sang kepala polisimulai menunjukkan kejepangannya. Maklum. Ia memang orang Indonesia, tetapi kala itu ia bertindak sebagai kepala polisi Jepang yang harus tunduk dan menaati perintah dari atasan.
Saifuddin Zuhri makin hati-hati. Ia belum bisa menduga, di pihak mana Kaisatsu Syoocho itu berdiri. Apakah betul-betul berkiblat kepada Jepang penjajah, ataukah masih terikat batinnya kepada gerakan kebangsaan? Maka secara bijak Saifuddin Zuhri menjawab, “Bagaimana mungkin Anshor merintangi Seinendan dan Keibondan, sedangkan kepada para anggotanya kami ajarkan semua yang diajarkan dalam Seinendan dan  Keibondan?”
Tiba-tiba Umar Khattab berubah sikap. Matanya bergerak-gerak gelisah, menatap kea rah pintu ruangan, untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak ada orang lain yang akan masuk, meski sebetulnya kegelisahan itu tidak perlu, sebab tadi pintu itu telah digrendelnya. Ia menyeret kursinya lebih dekat ke tempat duduk Saifuddin Zuhri. Lalu melanjutkan bicaranya dengan setengah berbisik, “Saya sebetulnya diperintah polisi militer Jepang, Kenpeitai, untuk menahan saudara Saifuddin Zuhri, berhubung masuknya laporan bahwa saudara melancarkan gerakan anti-Jepang. Saya tidak ingin Saudara dan Gerakan Anshor mendapat kesulitan. Karena itu saya anjurkan, sebaiknya buat sementara waktu, Saudara jangan berrdiam di daerah Banyumas. Saudara toh bisa memilih daerah mana saja di luar Banyumas lantaran Saudara menjabat Komisaris Amsor Jawa Tengah bagian selatan. Kelak, jika keadaan sudah memungkinkan, silakan kembali lagi ke daerah Banyumas.”
Saifuddin Zuhri menjadi lega sekali, terutama setelah mengetahui, terbukti di kandang harimau pun seorang pejuang tetap pejuang. Umar Khattab benar berseragam kepolisian Jepang, namun jiwanya tetap antipenjajahan dan berpihak kepada banggsa sendiri. Maka dengan patuh ia menjawab, “Sungguh saya berterima kasih atas nasihat Tuan itu. Dan saya amat bergembira serta sangat bahagia hati saya berkenalan dengan Tuan. Semua saran Tuan pasti akan saya laksanakan.”

Saifuddin Zuhri berdiri minta permisi. Sebelum keluar ruangan ia menjabar tangan Umar Khattab lama nian, seraya mengulangi kembali ucapan terima kasihnya dengan tulus dan terharu. (30 Kisah Teladan, K.H. Abdurrahman Ar-Roisi).
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Posted by NAMRIF. Diberdayakan oleh Blogger.