Pejuang Di
Sarang Macan
D
|
engan masih berdirinya Pemuda Anshor, maka kaiboodan dan Seinendan,
dua organisasi keamanan dan kepemudaan Jepang, tidak diminati para pemuda
Islam. Mereka berduyun-duyun mendaftarkan diri menjadi anggota Anshor. Selaku
Komisaris Daerah Anshor untuk Jawa Tengah bagian Selatan, Kyai Haji Saifuddin
Zuhri yang waktu itu masih muda belia, dipanggil oleh Kaisatsu Syoocho, kepala
polisi Kerasidenan Banyumas. Biasanya, kalau ada panggilan dari salah satu
pejabat pemerintahan Jepang, berarti alamat tidak akan pulang untuk beberapa
lama, atau untuk selama-lamanya.
Maka dengan
berbekal seperangkat doa dari para kyai yang dibaca sepanjang jalan, Saifuddin
Zuhri berangkat ke kantor Polisi. Andaikata Gunung Slamet yang kakinya
menjelajah ke Banyumas itu bergetar, barangkali getaran hati Saifuddin Zuhri
lebih keras lagi. Sebab detik-detik menunggu itu ia berusaha menindih
ketakutannya dengan keyakinan dan keimanan. Dan ternyata keampuhan doa dapat
mengusir segala perasaan yang bisa meruntuhkan kepribadian serta harga diri
seorang manusia. Saifuddin Zuhri dengan dada lapang siap menghadapi resiko
perjuangan yang paling buruk sekalipun.
Terpujilah nama
Allah. Kepala polisi Kerasidenan Banyumas adalah pribumi, Muslim lagi, namanya
Umar Khattab. Setidaknya hatinya lebih lembut daripada orang Jepang.
Mudah-mudahan.
Ketika
berhadapan empat mata, sesudah Identitas Saifuddin Zuhri diteliti dan
dicocokkan, Umar Khattab lalu bertanya, “Apa betul Saudara pemimpin Anshor Jawa
Tengah?”
Dengan jujur
Saifuddin Zuhri mengangguk. “Tepatnya, jabatan saya selaku Komisaris Daerah
Anshor untuk Jawa Tengah bagian selatan, meliputi Kerasidenan Banyumas, Kedu,
dan Yogyakarta.”
Muka kepala
polisi itu tetap angker. Tidak ada senyum basa-basi. Akan tetapi, suaranya
tidak bernada membentak ketika ia bertanya lagi, ”Sudah berapa lama jabatan itu
Saudara pegang?”.
“Sejak tahun
1983.” Jawab Saifuddin Zuhri seadanya.
“Anshor itu
gerakan Politik?” Umar Khattab mendesak.
“Anshor adalah
gerakan yang berasas agama Islam dan bertujuan keagamaan semata-mata.”
“Apakah
semangat Nippon juga ditanamkan kepada para anggotanya?” Umar Khattab kian
mendesak.
“Dalam Anshor
diajarkan pula taisyoo, olahraga gaya Jepang, dan memutar juga lagu-lagu
Jepang,” jawab Saifuddin Zuhri berputar, lantaran dalam benaknya ia berfikir,
pertanyaan yang seperti inilah yang bakal menentukannya ditangan Jepang.
“Apakah Ansor
merintangi Seinendan dan Keiboondan?” sang kepala polisimulai
menunjukkan kejepangannya. Maklum. Ia memang orang Indonesia, tetapi kala itu
ia bertindak sebagai kepala polisi Jepang yang harus tunduk dan menaati
perintah dari atasan.
Saifuddin Zuhri
makin hati-hati. Ia belum bisa menduga, di pihak mana Kaisatsu Syoocho itu
berdiri. Apakah betul-betul berkiblat kepada Jepang penjajah, ataukah masih
terikat batinnya kepada gerakan kebangsaan? Maka secara bijak Saifuddin Zuhri
menjawab, “Bagaimana mungkin Anshor merintangi Seinendan dan Keibondan,
sedangkan kepada para anggotanya kami ajarkan semua yang diajarkan dalam Seinendan
dan Keibondan?”
Tiba-tiba Umar
Khattab berubah sikap. Matanya bergerak-gerak gelisah, menatap kea rah pintu
ruangan, untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak ada orang lain yang akan masuk,
meski sebetulnya kegelisahan itu tidak perlu, sebab tadi pintu itu telah
digrendelnya. Ia menyeret kursinya lebih dekat ke tempat duduk Saifuddin Zuhri.
Lalu melanjutkan bicaranya dengan setengah berbisik, “Saya sebetulnya
diperintah polisi militer Jepang, Kenpeitai, untuk menahan saudara
Saifuddin Zuhri, berhubung masuknya laporan bahwa saudara melancarkan gerakan
anti-Jepang. Saya tidak ingin Saudara dan Gerakan Anshor mendapat kesulitan.
Karena itu saya anjurkan, sebaiknya buat sementara waktu, Saudara jangan
berrdiam di daerah Banyumas. Saudara toh bisa memilih daerah mana saja di luar
Banyumas lantaran Saudara menjabat Komisaris Amsor Jawa Tengah bagian selatan.
Kelak, jika keadaan sudah memungkinkan, silakan kembali lagi ke daerah
Banyumas.”
Saifuddin Zuhri
menjadi lega sekali, terutama setelah mengetahui, terbukti di kandang harimau
pun seorang pejuang tetap pejuang. Umar Khattab benar berseragam kepolisian
Jepang, namun jiwanya tetap antipenjajahan dan berpihak kepada banggsa sendiri.
Maka dengan patuh ia menjawab, “Sungguh saya berterima kasih atas nasihat Tuan
itu. Dan saya amat bergembira serta sangat bahagia hati saya berkenalan dengan
Tuan. Semua saran Tuan pasti akan saya laksanakan.”
Saifuddin Zuhri
berdiri minta permisi. Sebelum keluar ruangan ia menjabar tangan Umar Khattab
lama nian, seraya mengulangi kembali ucapan terima kasihnya dengan tulus dan
terharu. (30 Kisah Teladan, K.H. Abdurrahman Ar-Roisi).
0 komentar:
Posting Komentar